Pengikut

Sunday, February 23, 2014

Aku diketawakan lagi,
semangatku rapuh dimamah rindu,
namun ingatan padamu
penguasa hati,
masih tak tersingkir.

Katakan,
apalagi yang harus lakukan,
untuk menggenggam jiwa,
yang satu dalam sejuta?
perlukah aku
lepaskan segala kepunyaanku?
ketahuilah,
saat ini aku bagaikan bermimpi,
mimpi yang tak mahu ku tinggalkan.

Penguasa hati,
telah ku temui huraian
pada setiap simpulan,
genggamlah jiwaku,
tak ingin lagi terus hampa.
Penguasa hati,
terimalah penyerahan ini,
tak ingin kulihat warna hidupku,
luruh bersama musim.

Mengapa?
meranduk lumpur,
kau tepis usapan suria.
Mengapa?
berdinding jarak,
kau biarkan hatimu
larut dalam gemalai malam.
Mengapa?
tak diselak batin,
dan biarkan kalbu mu usang,
dalam pusara bayang.

Pelangi bukan millku,
bintang tak terisi di dada,
namun dari kaki langit,
tempat mata ini selalu menatap,
aku tahu tempat untuk mu.
Hulurkan tangan,
tinggalkan gusar sejenak,
mari ku pimpin meniti senja.
Nanti dalam dakapan fajar,
kau bisa menari dan bernyanyi,
didalam taman.
Bukan sugul menyorok,
diceruk elegi.
Dalam mengharung terik mencari bayu,
dengan pinta jerit yang tak terpenuh,
aku biarkan matahari membakar bahuku,
walau di kiri,
rimbun teduh menyapa,
dengan bulan rendang.
tak mengapa,
dengan sepatu lusuh,
dengan ceracak duri,
aku tinggalkan jejakku
yang berbayang pada debu semalam.
siapa bisa menahan saat jatuh ketentuan?
Kudrat ini,
ibaratnya embun di hujung ranting,
menanti saat tersejat dalam bahang siang.
Berpalinglah,
andai penawar untuk hati hambar
gagal dilakar,
utuskan kalimah,
untuk dibungkus semua
hasrat dan ikhtiar bersama,
dan dibawa pergi.
Namun dinihari yang muram
dan ucapan selamat tinggal,
takkan ku kucup.

Berpalinglah,
andai terlalu jijik untuk dipandang,
tiada lagi daya,
untuk menjulang jiwa patah.
terlalu lusuh batin ini.
namun niat ku bukan keji,
aku datang demi mengisi,
bukan merobek,
luka perpisahan,
dan semilir duga yang menjarakkan,
takkan kudakap.
Kalbu merintih kecintaan,
tenang direnggut kerinduan,
walaupun belum terzahir,
kasih sayang telah lama kusatukan,,
bersama cinta dalam bejana,
dan ku hanyutkan dalam arus mimpi.

Kekasih,
pemuja mu disini,
di pembaringan menghitung
musim-musim yang singgah.
telah terlalu lama
digasak hasrat bertemu

Kekasih,
lama ku nanti saat;
mata bertemu mata,
kelopak rasa dicambah berdua,
dan hanyut bersama
dalam gemalai semilir cinta.

10.2.2007, 1.35 AM

Serasa petir menyambar,
dalam dingin dinihari,
perasaan berkecamuk,
pilu dan duka menghempas buas,
saat dua temanmu tiba,
membawa perkhabaran,
kau tak lagi bernyawa.

Kini pembaringanmu hanya tanah,
ditemani dua nisan,
tak ada lagi senyum damai,
tak ada lagi pelukan hangat,
yang ada hanya aku,
bersama pesan yang kau tinggalkan di bahu,
dan tangis,
turun bersama gerimis.

Lembaran putih,
ku lalukan sari jiwa,
enggan kecundang.
Janji gerimis,
bukan tiang dari azali,
tak sebati.
Kepalsuan, 
batil tak ku dukung,
wajah asli ku pamerkan.
Tak ku damba syurga,
sedang kaki masih menari di pintu neraka,
Sambut warkah,
terima fitrah,
aku cuma musafir,
menggalas suria,
untuk disua pada kalbu,
merintih pilu,
biar tembus,
biar tirus,
debunga cita tak ku tiup pergi.

Saturday, February 22, 2014

Rimba

Suram dalam hijau,
Rimba ini hilang serinya,
Kicau burung dan mekar kuntum,
hilang tanpa jejak.
Akar menjalar lesu,
dalam tanah kontang.
Berkurun waktu yang singgah,
tiada hujan walau setitis.

Monday, February 17, 2014

Merah


Kau datang menerpa
saat hati gelora
bersama mergastua
kau lagukan cinta mu
mentari merah di ufuk timur tersenyum.

Dalam hembusan nafas
dalam madah dan seloka
dalam ribut menghempas
dalam dipukul gelora
cinta kau bawa berkalung isi dunia
tiba membawa seribu warna

Antara biru, hitam dan kelabu,
Hanya kalimah keramatmu ku tunggu
antara kuning, ungu atau jingga,
hanya kau yang selalu di minda,
antara coklat, hijau dan putih,
senyummu membuat rinduku merintih,
tak usah kau resah,
tetap saja satu warna kita,
merah..

Kau datang bernyanyi
lagu penawar duka,
hingga tanpa sedar
jendela ku terbuka,
pesona kau bawa
mengusur segala lara,
yakinlah,
warna kita kekal merah.

Wednesday, February 12, 2014

Hikayat malam


Titis-titis pilu,
 turun bak hujan,
membasahi hangat malam.
jiwa retak
dalam lengkung senyum
siapa tahu?

Renungan sayu
jatuh pada kelibat tak berbayang,
berlegar di setiap sudut,
mengapa masih hidup
catitan pada lembaran sejarah?
bukankah tinggal dan mati
telah disumpah?

Aku pejamkan mata,
dan tinggalkan rasa
yang masih menari,
nanti dalam lambaian sadiq,
aku himpunkan segalanya
dalam sujud .

Monday, February 3, 2014

.



Dalam pekat malam
aku berdiri sepi,
Di sini, di tasik ini,
telah terkubur kenangan
yang tak dapat terulang,
garis-garis pilu
membuka sebuah hikayat air mata,
terhapus semua impian,
rapuh semua harapan,
kemana lagi harus ku mencari?
tersisakah rasa untukku?
siapkah kalbu untuk kembali parah?

Aku tinggalkan sejenak kekusutan hati,
namun perasaan
kian menelan kejantanan,
pabila tersedar dari lamunan,
kau telah pun berlalu pergi
tinggalkan cita dan cinta

Kini rindu merusuh,
serasa jiwaku kian lenyap,
terbawa oleh mahabbah yang bukan lestari.

Jeritan bisu



Bersumpah dengan lidah munafik,
berselindung di balik tirai sufi,
sudahkah ada yang celik?
ataukah masih terbuai;
dengan sulaman cereka
yang konon hidup dibelai rahmat
walhal hanyut dilambung istidraj?

Bangunlah,
dengarlah suara sayup
melaung hajat;
mata-mata yang tuli
telinga-telinga yang buta
jiwa-jiwa yang lena
disembuh hidayah

Sedarlah,
sebelum suara-suara gagah
yang mengetuk benak
mangusir kebatilan
menjadi jeritan bisu

Kusuma


Kusuma,
dinihari ini
aku berdebat dengan hati,
dalam riak keliru,
gusar riuh bertepuk tangan,
dan pada ribut debu yang menghijab,
tak terpetik ilham,
tertiup secebis pada minda,
lalu dialunkan menyentak parut,
rupa-rupanya
aku dan semangatku 
teramat parah.

Kusuma,
anak panah yg kau lambungkan,
tuju tepat ke dadaku,
lalu kau talunkan;
manis hikayat,
sentuhan listrik.

Kusuma,
cuma ada kerikil dan debu
di dalam sepatu lusuh,
tak tercungkil
tak juga terusir,
aku tewas
dalam perjuangan menafikan
kenisbian hati dan harta.






Sunday, February 2, 2014

Sumbang



Lama aku jejaki,
nyanyian sumbang
dengan duka yang sarat,
kemana jatuhnya suara pilu?
Dimana dangau
tempat kau rakam
pertemuan;
terang dan kelam
degup dan nadi
guntur dan guruh?

Telah ku rangkumkan sumpah
pada setiap keringat dan darah,
mengalir dan memancur,
takkan lagi duri dan ranjau
menjadi punca gugur tangis.
pada riak tulus.

Hayat terpahat,
pada belati dan panah,
mencarik dan pergi,
Sesudah kering darah
tak ku kenal lagi sakit dan kecewa
dalam ribut senja.

Telah ku mengerti
sakit ditikam
saat dikaburi cereka pelangi,
namun pedih pedoman,
membuka mata seluas semesta.
.




Saturday, February 1, 2014

Elegi



Benarkan aku berkata
sejujur suara,
di dalam makam rasa
tertanya;
kemana perginya rama-rama
yang riang menari
di atas bebunga merah
pada lapangan hijau ini?

Hilangkah kenari,
yang menghantar khabar indah
dalam bunga bahasa
semerdu suara?

Degupan sepi
yang dulunya senada
dengan sayapnya,
merindukan suara tulus;
yang mengeringkan darah jernih,
yang menenangkan gempita.

Tak ada lagi taman,
tak ada lagi rimbunan redup,
tak ada lagi kicauan beburung,
yang tinggal hanya kuburan.